Sejarah Jatinangor Hingga Menjadi Kota Pendidikan Tinggi
Kecamatan Jatinangor merupakan salah satu Kecamatan di Kabupaten Sumedang, Jawa Barat. Menurut data dari situs resmi kecamatan Jatinangor, wilayah Kecamatan Jatinangor ini meliputi luas 26,2 Km², dengan jarak antar Batas Wilayah dari Utara-Selatan 5 Km dan dari arah Barat-Timur 7 Km. Jatinangor yang sekarang sangat berbeda jika kita melihatnya 20 atau 30 tahun silam. Saat itu, Jatinangor, adalah sebuah wajah yang memiliki tipikal pedesaan Jawa Barat yang penuh dengan hamparan perkebunan dan persawahan yang asri. Akan tetapi, wajah Jatinangor kini adalah wajah yang sedang mengalami perubahan di berbagai lini kehidupan, terutama pada masyarakatnya. Masyarakat yang dahulunya sebagian besar petani kini sebagian besar sudah beralih profesi menjadi tukang ojek, tukang cuci, penjaga rumah, dan sebagainya.
Masyarakat Jatinangor dulu, seperti halnya masyarakat Sumedang ataupun Jawa Barat pada umumnya, memiliki akar yang kuat sebagai masyarakat agraris. Hal itu bisa dilihat dari sisi historis dari kawasan ini. Jatinangor sendiri merupakan nama dari sebuah blok perkebunan karet yang terbentang dari kampus IPDN hingga Gunung Manglayang. Perkebunan karet ini dimiliki oleh seorang berkembangsaan Jerman bernama Baron Blad yang menanamkan modal bersama perusahaan swasta milik Belanda dan pada tahun 1841 mendirikan perkebunan karet bernama Cultuur Ondernemingen van Maatschapij Baud, yang luas tanahnya mencapai 962 hektar. (Wikipedia.org)
Perubahan besar terhadap Jatinangor mulai muncul ketika kawasan ini dijadikan kawasan pendidikan oleh pemerintah Jawa Barat. Jatinangor, sejak tahun 1987 ditetapkan oleh Gubernur Jawa Barat menjadi kawasan pendidkan. Lahan bekas perkebunan karet yang luasnya 962 hektar ini, berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Jabar Nomor 593/3590/1987, di ubah fungsinya menjadi kota pendidkan tinggi. Kota Tsukuba di Jepang menjadi acuan pengembangan kawasan ini.
Usulan menjadikan Jatinangor sebagai kota perguruan tinggi yang semakin marak. Sampai tahun 1980 saja misalnya, di Bandung sudah terdapat 16 Universitas, Institut, dan perguruan tinggi, 25 akademi, dan 15 lembaga penelitian, dengan jumlah mahasiswa mencapai 60.128 orang. Ini menjadikan Bandung lebih padat berkat datangnya pelajar dari berbagai provinsi untuk masuk ke Pendidikan Tinggi di Bandung tersebut.
Oleh karena alasan itulah, kegiatan pendidikan sejumlah perguruan tinggi di pindahkan ke Jatinangor, yang dilakukan bertahap mulai tahun 1992. Alokasi penggunaan lahan bekas perkebunan karet itu antara lain untuk STPDN 200 ha, Ikopin 28 ha, Unwim 53 ha, dan Unpad 175 ha. Selain itu disiapkan pula lapangan golf seluas 170 ha, kebun binatang 177 ha, tanah perkemahan Pramuka 66 ha, tanah cadangan 47 ha, dan kawasan konservasi. Universitas Padjadjaran (UNPAD), Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN). Sebelumnya bernama Sekolah Tinggi Pemerintahan Dalam Negeri (STPDN), Institut Koperasi Indonesia (IKOPIN), Universitas Winaya Mukti (UNWIM) adalah kampus-kampus yang mendiami kawasan pendidikan Jatinangor.
Ketika Kemajuan Jatinangor Memicu Pembukaan Lahan Hijau
Bersamaan dengan dibangunnya kampus-kampus tersebut, Jatinangor juga mengalami perkembangan fisik yang pesat. Seperti nasib lahan-lahan pertanian di Pulau Jawa umumnya, lahan pertanian Jatinangor juga beralih fungsi menjadi rumah-rumah kost, pertokoan, ataupun pusat perbelajaan.
Namun, dibalik kemajuan signifikan Jatinangor tersebut, ada suatu dilema terhadap tatanan lingkungan di Jatinangor. Lingkungan yang dulunya hijau dan asri sekarang didominasi oleh pemukiman yang tidak tertata sebagaimana mestinya dan terlihat kumuh. Lahan-lahan hijau tergusur oleh permintaan pasar terhadap kos-kosan yang sangat tinggi. Sehingga, masyarakat Jatinangor pun mulai mengolah peluang bisnis yang dilihatnya ini dan menjadikan kawasan sekitar kampus menjadi pemukiman kos mahasiswa.
Tidak cukup sampai disitu. Tingginya intensitas Bandung-Sumedang, ditambah lagi semakin besarnya jumlah pendatang ke Jatinangor menjadikan Jalan Raya Bandung-Sumedang semakin macet. Alhasil lahan hijau Universitas Padjadjaran dibuka untuk digunakan membangun jalur baru demi mengurangi kemacetan.
Meski demikian, jika kita jelajahi keatas menuju Sumedang, kita akan mendapati lahan-lahan agraris beserta pepohonan yang masih rimbun disekitar rumah penduduk, berbeda halnya dengan situasi yang kita temukan di Jatinangor (Lingkungan Sekitar Kampus).
Untuk selanjutnya, UNPAD akan memindahkan bagian Rektoratnya ke Jatinangor, pembangunan gedung bahkan sudah dilakukan. ITB pun tidak ketinggalan, beberapa tahun belakangan, ITB mulai memangun beberapa gedung perkuliahan dan perpustakaannya di Jatinangor. Terang saja, kalau melihat kondisi Bandung yang semakin padat, pemindahan gedung mapun kegiatan Administrasi universitas/Institut akan memberikan dampak yang cukup signifikan untuk mengurangi kemacetan di Bandung.
Bagaimana dengan Jatinangor? Ancaman akan terbuka kembali lahan hijau sepertinya tidak bisa dielakkan. Semakin banyak jumlah populasi yang mendiami Jatinangor, semakin besar pula pasar yang terlihat oleh pebisnis/pengusaha. Lahan-lahan hijau, termasuk persawahan juga bukan tidak mungkin akan dibeli dan dijadikan kos-kosan baru.
Berikut adalah data dari situs resmi Kecamatan Jatinangor, pada Triwulan II tahun 2009:
“Dilihat dari penggunaan lahannya, sebagian besar wilayah Jatinangor merupakan Lahan permukiman/pekarangan yang luasnya mencapai 1.217 Ha (54,1%), sedangkan luas penggunaan lahan lainnya adalah berupa tegal/kebun 615 Ha (27,3%), kolam 14 Ha, Hutan Rakyat 273 Ha, Hutan Negara 130 Ha dan penggunaan lainnya 125,15 Ha. Kondisi Demografis Kecamatan Jatinangor antara lain jumlah penduduk berdaarkan hasil Pendataan Keluarga Tahun 2008 adalah sebanyak 87.974 Jiwa, yang terdiri dari 44.151 orang laki-laki, 43.821 orang perempuan dan 20.525 Kepala Keluarga (KK).”
Banyak dari masyarakat Jatinangor memaklumi perubahan ini karena alasan ekonomi. Padahal, tanpa disadari modernisasi akan berdampak langsung bagi keberlangsungan tatanan sosial yang sudah ada. Salah satu langkah yang benara adalah dengan menyediakan gedung asrama kampus. Dan ini sudah dilakukan baik UNPAD maupun ITB Jatinangor, namun tetap saja pembukaan lahan tetap terjadi. Ini bukan karena kurangnya penyedia kos-kosan atau kamar sewa, maka masyarakat Jatinangor memabngun rumah kos, melainkan memang karena prospek keuntungan yang bisa didapat nantinya.
Oleh karena itu, solusi yang saya tawarkan kepada pemerintah adalah agar membangun sarana perbaikan lingkungan seiring pesatnya pembangunan infrastruktur dan fasilitas umum. Saya menyarankan agar pembuka lahan, bisa diimbangi dengan menanam flora-flora yang sesuai dari lahan yang dibuka tersebut.
Menata Jatinangor dengan pepohonan yang lebih dewasa, bukan sekedar benih. Pohon/Tumbuhan dewasa memiliki ketahanan yang lebih baik daripada benih-benih yang biasanya hanya sedikit yang bisa tumbuh hingga dewasa.
Seain itu, saya rasa perlu untuk ditegakkannya kembali peraturan pemerintah terkait tanah maupun bangunan yang tidak bersertifikat di Jatinangor. Karena menurut pengamatan saya, sebagian besar bangunan menyalahi aturan Penetapan tanah milik pemerintah. Banyak pembangunan dilakukan tanpa ada izin dari pihak berwenang. Oleh karenanya, pemerintah daerah diharapkan mengirimkan petugasnya untuk Mengidentifikasi dan menyelidiki sertifikat kepemilikan yang ada. Kemungkinan besar, masih banyak lahan yang tidak memiliki sertifikat, dan pemerintah, secara hukum berhak mengelolanya sebagai aset negara. ini akan lebih baik ketimbang nantinya lahan tersebut dibangun kembali menjadi pemukiman penduduk yang tidak teratur dan semakin merusak tata ruang di jatinangor.
Apa yang dilakukan terhadap Rumah kos yang tidak memiliki sertifikat resmi terkait kepemilikan maupun membangun. Dalam hal ini, sebaiknya pemerintah punya kiat untuk mengajak pihak tersebut untuk bekerjasama, sehingga tidak ada yang merasa dirugikan. Rumah Kos yang menyalahi aturan di bangun kembali menjadi Rusun (Rumah Susun) yang keuntungannya akan dibagi antara pemerintah dan pemilik tanah sesuai kesepakatan kedua pihak. Selain memperbaiki tatanan ruang Jatinangor, hal ini juga akan berimbas pada efisiensi lahan yang digunakan dan memaksimalkan keuntungan yang bisa disapat. Apabila modal pembangunan datang dari pemerintah, pemerintah mendapat bagian keuntungan yang lebih besar tentunya dari pemilik tanah.
Daftar Pustaka
Jatinangor-Bersinar.com. 2009. POTENSI KECAMATAN JATINANGOR, TRIWULAN II TAHUN 2009 . [http://st288653.sitekno.com/article/33924/potensi.html] Diakses pada 16 Desember 2011.
Berita ITB. 2011. ITB Bangun Rusunawa di Kampus Jatinangor.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar